The King Of Lip Service Jokowi Menanam Moralitas Budak

SURABAYA | rakyatjelata.com -

Meminjam Friedrich Wilhelm Nietzsche, “moralitas budak” adalah moralitas orang kalah, yaitu manusia kerdil yang tidak mampu berpikir bebas untuk menentukan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri.

Dia penuh ambisi, dia rakus dan ingin berkuasa tiada henti. Maka ide awal yang dia kembangkan adalah membangun fanatisme (mirip beragama) dan menanam moralitas budak pada rakyatnya.

Tulisan ini berusaha menuturkan bagaimana kekuasaan telah menggerus rasionalitas berpikir rakyat. Kekuasaan rezim terus-menerus membangun berhala bernama jalan tol, Proyek Strategis Presiden, Tambang, IKN dan bahkan food estate. Dalam kacamata orang yang fanatis terhadap 'kebaikan' Jokowi itu adalah prestasi. Publikasi yang megalomania menggaungkan seolah itulah Tuhan, dalam konsep pembangunan negara. Orang tak lagi punya segmen mengenai kerusakan lingkungan, kemanusiaan, pendidikan rendah atau bahkan gizi buruk dan stunting.

Intelektual tertidur hampir 10 tahun, mahasiswa bisu menutup diri diberi permainan game online, buruh-petani-nelayan-orang miskin disodori beras dan aneka macam peralatan buat sekedar hidup. Sekedar hidup.

Alih-alih sekolah sebagai agen pendidikan, namun justru bertugas menanamkan chip 'kebodohan'. Sekolah dan perguruan tinggi kehilangan daya kritis. Pengembanhan kreatifitas, inovasi atau bahkan pencerahan. Gak ada itu. Jebolan sekolah; langsung bercita-cita jadi budak.

Upaya massiv Presiden dengan berbagai kebijakan punya keberhasilan tinggi terhadap dimensi perbudakan modern. Yakni dekandesi moral terhadap perubahan sosial. Realiatas mencari kerja susah, kreatifitas rendah, industri rakyat sulit tumbuh, inovasi nol dibidang apapun, bahkan para aktivis kemanusiaan menjadi centeng bagi terus digebuknya rakyat yang mempertahankan kedaulatan tanah airnya.

Moralitas budak tertanam di semua devisi. Pejabat-pejabat tinggi negara tak kuasa menampik kekuasaan, mereka tunduk meski tahu itu kesalahan. Kekuasaan tertinggi atas nama kepala negara dan kekuasaan memberi percontohan konkrit bagaimana berlaku kotor, munafik dan terus berbohong. Presiden Jokowi alah kaisar/raja/empu pembohong paling besar di dunia. Bahkan dengan terbuka menuturkan kebohongan dengan tanpa ada rasa malu, atau bahkan menyesal.

Agama Rezim Jokowi adalah kebohongan. Di sana terus menebarkan sindikasi bagaimana berbuat kotor dengan perundang-undangan. Peraturan yang menghalangi dengan mudah diubah untuk mempermudah melanjutkan prilaku kotor, korup dan menindas.

Karena dia tahu, sebagian besar rakyat gagap dalam perlawanan. Karena dia tahu rakyat sebagian besar menyembah berhala keberhasilan pembangunan Jokowi. Bahkan fanatisme rakyat terhadap Jokowi berani pasang dada demi membela Jokowi. Kita akan temukan dimana-mana orang dungu, rakyat miskin bahkan, pemuda menganggur bahkan; masih membela Jokowi. Bagi mereka membela Jokowi adalah jihad.

Aktivis yang bergerak pada ekonomi kerakyatan justru mengembangkan konsep besar Jokowi mengenai industrialisasi dan hilirasi. Kata-kata yang justru aneh pada rakyat. Hal seperti inilah yang sejatinya formulasi baru dalam membangun megalomania berpikir, sementara realitasnya organisasi masih ambruk, lemah tak mengajarkan partisipasi dan permusyawarahan; yang sejatinya itu kata dasar rakyat. Begitulah, Jokowi membius aktivis dengan uang kekuasaan dan mimpi-mimpi besar ambisius. Realitasnya 10 tahun Indonesia.hancur dalam khasanah ekonomi kerakyatan. Dengan dalih membela rakyat, sebenarnya hanya untuk mengisi kantong sendiri. Itu lazim bagi pengikut Jokowi. Harpan ikut Jokowi bagi aktivis itu hidupnya akan kaya dan sejahtera. Nah, itulah egoisme yang terkait ide agama Jokowi.

Buih nasihat dan teriakkan Rocky Gerung kalah gema buzzer Jokowi. Cak Nun (MH Ainun Najib)/agamawan dan budayawan hanya bisa teriak dipojokan dengan penggemar yang memuja Tuhannya sendiri. Agamawan, sosiolog, yang menuturkan kebaikanpun dianggap penjahat bagi fanatik Jokowi. Para dosen dengan pendidikan moral rendahan, sibuk menyelamatkan diri agar tetap rumah tangganya tersedia beras.

Kini Indonesia sebagian besar telah beragama 'moralitas budak'. Pejabat, ASN, Lurah/Kepala Desa, Dosen-dosen, Aktivis sebagian besar menghamba pada suap dan korupsi. Mereka diperbudak pada kenikmatan mudahnya mendapatkan uang tanpa harus bekerja atau bersusah payah. Rakyat miskin bahkan, tetap memuja Jokowi karena menunggu BLT sebagai fotmat sederhana mentalitas budak.

Cara dan tujuan bernegara telah berbelok, sejak Jokowi bukan hanya jadi Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, Jokowi telah menjadi Tuhan dengan agama Moralitas Budak.

Format ini pernah dituturkan filsuf keren asal Jerman; Friedrich Nietzsche. "Tuhan Telah Mati". Nietzsche menggunakan ungkapan itu untuk menyatakan gagasannya bahwa Abad Pencerahan telah menghapuskan kemungkinan keberadaan Tuhan. Namun ada ironi di sini karena Nietzsche bukanlah orang pertama yang mengemukakannya. Penulis Jerman, Heinrich Heine (yang Nietzsche kagumi), mengatakannya lebih dulu. Tapi Nietzsche sebagai seorang filsuf memiliki misi pribadi untuk menanggapi pergeseran budaya yang dramatis dengan ungkapan “Tuhan telah mati”. Itu bagian daya kritis Nietzsche melihat pengikut tuhan, ketika orang berupaya tiap langkah hidupnya hanya untuk berharap, bukan nihilisme.

Kita tak perlu memperdebatkan Nietzsche, namun kita bisa membaca bagaimana Kematian Tuhan itu bagian kentara yang melekat; bagaimana keberlangsungan kekuasaan korup bisa berlangsung, bahkan dibela mati-matian lewat kaidah moral budak. Itulah format agama ala Jokowi. Ajaran ini berhasil, pengikutnya bertebaran dimana-mana.

Dalam konteks ini paradoks telah terjadi, kematian 'Nilai Tuhan' secara umum, telah digantikan dalam sejarah baru ; Moralitas Budak, dalam agama Baru Jokowi. Terlepas Jokowi sebagai Tuhan atau Nabi, realitasnya dia punya pengikut. Jika merujuk sebagai konsep agama kotor, seharusnya Jokowi sudah ditangkap. Namun itu jadi nisbi, karena peraturan telah mendukung kekuasaan Jokowi.

Selalu ada celah keluar dari hegemoni dan dominasi Jokowi. Akan datang nabi-nabi yang berjuang mendudukan kembali peradaban. Kacamata rasional dengan mudah sebenarnya budak-budak Jokowi; aktivis, dosen-dosen dungu, rakyat miskin fanatis yang memberi jalan pada keberlangsungan dinasti Jokowi. Merekalah budak-budak yang gagah berani menistakan 'suara tuhan' dalam pemilu 2024.

Tak ada nabi palsu, yang akan datang adalah Musa yang gagah berani melawan Firaun. Cukup sekian, mari kita menunggu edaran makan siamg gratis.

Oleh Iwan Suga
Penyintas Aktivis 1998

Editor : Admin Rakyatjelata