Oleh Iwan Suga
DKPP vonis Ketua KPU langgar etik terkait pendaftaran Gibran sebagai Bacawapres, MK MK memvonis Ketua MK melanggar kode etik dalam proses mengubah UU Pemilu, Presiden melanggar Etika bernegara bahkan sejak dia menjabat.
Baca Juga: Urgensi Politik Kampus
Awal 2024 yang akan mirip kejadian 1998. Sebelum tahun ini, gerakan Mahasiswa, Gerakan Buruh dan Gerakan Massa lainnya tak mampu menggoyahkan kekuasaan Jokowi. Bahkan kasus Omnibuslaw yang jelas-jelas akan menghancurkan kehidupan ketatanegaraan kita tak mampu tuntas dicabut, realitasnya justru presiden dengan semena-mena menghadirkan Perpu.
Jokowi mirip dengan Soeharto, mengukuhkan diri seolah-olah presiden memiliki kekuasaan tanpa batas. Otoritarian. Demokrasi ala Pemilu diandalkan senjata legitimasi kekuasaan. Segala cara nir etika dilakukan di depan mata publik.
Kampus Kehilangan Mental Intelektual
Di mata penulis, mahasiswa, dosen dan civitas akademika sekarang pada kondisi kekurangan mentalitas penegak moral. Kampus sebagai cermin yang seharusnya mampu 'menggodok' seluruh isu kebangsaan, martabat, etika, aturan hukum yang salah, kerusakan lingkungan tak pernah dijadikan acuan besar dalam urat pebelajaran. Kampus masa kini bukan kampus cerdas, sepertinya kampus justru tengah mengajarkan kedunguan pada rakyat.
Mengerikan. Justru bukan kekuasaan yang korup yang penulis takutkan, namun kampus dan organ intelektual yang tak mampu menjadi penegak moral berbangsa. Kampus sedemikian hingga dikooptasi secara sadar atau tidak oleh negara, oleh kekuasaan. Jika ini terus berlangsung, negeri akan diambang kehancuran moralitas.
Lalu apa relevansinya dengan kondisi 1998? Hemat penulis, kita berkaca pada gerakan yang terjadi di 1998. Sama, ketika itu organ kampus tak ubahnya seperti robot-robot yang tengah memenuhi ruang-ruang kelas.. Apalagi pada kasus terdekatnya, 1996 mahasiswa kritis yang bergabung dengan SMID justru dianggap sampah oleh negara. Dosen, rektor, dan organisasi besar universitas tak mampu melindungi.
Kampus di masa sebelum 1998 adalah kampus yang diakuisisi dengan adanya program NKK-BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Kampus tak berdaya tak boleh ikutan berpolitik. Artinya adalah kejelasan aturan yang memang menakutkan bagi civitas akademik.
Perbedaannya dengan kondisi Kampus sekarang adalah, alih-alih ada aturan yang melarang berpolitik, justru organ kampus tak mampu melakukan apapun dalam ranah menegakkan moral sosial dan etika bernegara. Kesadaran tinggi atas Reformasi 1998 tak ada dalam jiwa kehidupan kampus. Kampus seperti penjara baru tempat mengajarkan orang menjadi penakut, tak kreatif bahkan dilarang berpikir kritis. Sangat memalukan.
Dua minggu terakhir lebih dari 30 kampus membuat pernyataan sikap mengenai polah presiden Jokowi dan lembaga negara yang nir etika. Rektor, dosen, mahasiswa tiba-tiba menjadi terbangun meneriakkan yang lama mereka rusak sendiri. Kampus ingin menegakkan moral bernegara, kampus sedang proses ekstase menjadi manusia kembali. Entah berikutnya apa yang bakal mereka lakukan.
Hal ini sama saja saat 1999, dilakukan oleh para rektor seluruh Indonesia, setelah gerakan mahasiswa mulai terbangun para rektor membuat FORUM REKTOR, menjadi cerminan kampus ikut serta dalam proses perubahan. Tak ada yang salah, salahnya adalah selalu terlambat bersikap.
1998 dan 2024
Penulis ingin memberi kesaksian apa yang penulis lakukan sebagai pendulum gerakan 98.
Gerakan mahasisiswa 1990'an tak pernah menjadi menjadi besar, bahkan menjadi hancur lebur ketika 1996 gerakan mahasiswa Radikal bernama SMID yang berafiliasi dengan PRD ditangkap dan dibubarkan oleh rezim Soeharto. Pasca 1996, semua orang di kampus hanya mampu berbisik-bisik.
Organisasi Ektra kampus seperti misalnya HMI, GMNI, PMKRI, PMII, dan lainnya bagi penulis bukalah organ gerakan mahasiswa. Bahkan Senat Fakultas dan Universitas tak ada gigi perlawanan terhadap rezim korup Soeharto. Kesaksian ini penulis dasarkan atas beberapa variable dan indikator mengenai gerakan mahasiswa secara umum. Organisasi seperti yang penulis sebut diatas tak ubahnya adalah kontrol kuat kekuasaan negara lewat NKK BKK, mudah sekali dikontrol. Organisasi itu hanya bagian dari politik negara untuk mengontrol kampus lewat organisasi legal. Secara normatif mereka ada hanya untuk melegaliasi adanya Demokrasi di kampus.. Kalau alumni mereka terbiasa dengan sikap dungu, artinya anda tak perlu heran. Mereka ada bukan karena sikap kritis, tapi ada agar seolah-olah institusi kampus tak mengekang. Dan kita lihat, alumni organisasi ini hanya mengisi kepemimpinan yang tak kritis dan kuat dalam. Moral etika. Mereka tipe-tipe orang mengutamakan atribute legal dari pada sikap moral kritis. Tentu tak semuanya. Mereka hanya mengunggulkan sikap eksistensialis, otaknya kosong. Mereka hanya akan mengandalkan kebiasan nepotisme alumnus dalam berpolitik maupun dalam dunia kerja.
Lalu, kenapa terjadi Gerakan 1998, adalah segelintir mahasiswa yang nota bene adalah dari kalangan pers kampus yang menyeruak menjelmakan diri sebagai penggerak perubahan. Penulis sendiri bergerak di lingkungan Surabaya, di Malang ada beberapa aktivis pers yang juga mulai bergerak, di Lampung juga ada satu dua mahasiswa yang menjadi pendulum, di Yogyakarta, di Jakarta dimulai dari IKIP dan UI. Artinya gerakan 1998 bukanlah hadir dari organisasi kampus yang legal. Aktivis pers kampus adalah pendulum di banyak kampus. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, terutama mandegnya gerakan yang sebelumnya dilakukan oleh SMID dan traumatik teror kasus PRD/SMID di 1996.
Di awali proses lobbying, para pendulum ini mendekati, melobbi dan berdiskusi dengan para dosen dan aktivis ex SMID serta organ-organ legal kampus. Tiada henti penulis lakukan untuk datang dari satu per satu orang untuk ikut dalam perlawanan, kita melebur tanpa harus menggunakan eksistensi organisasi mereka masing-masing.
Dan, di awal penolakan justru terjadi dari kelompok-kelompok ektra kampus resmi. Hanya beberapa gelintir dosen yang mau mengubah diri. Justru sambutan kuat terjadi dari kelompok-kelompok bawah tanah yang tak pernah tercatat sebagai organisasi ekstra kampus.
Nah, artinya gerakan tak selalu datang tiba-tiba secara massif, yang terpenting adalah proses diskusi yang intens, memulai gerakan tiada henti.. Penulis ingat betul, bagaimana caranya mengisi wacana publik dengan wacana pergerakan. Harus ada upaya yang kuat untuk mengubah wadah media Massa (pers) dengan suasana pergerakan. Tiap hari penulis dan pendulum gerakan 98 lainnya meretas wacana mengenai perlawanan terhadap rezim. Tiap dosen didorong untuk lebih kritis pada pemerintah. Tiap insan diajak untuk bergerak. Dan disinilah diperlukan sebuah militansi, perlu ketekunan, keberanian dan membangun energi besar menyiapkan perlawanan yang sesungguhnya. Penulis bahkan membuat harian aksi, yang keras kritis dan hadir tiap aksi. Bernama RESIST. Media ini bahkan menjadi sumber informasi harian untuk terus menuntun pergerakan.
Bukan soal gerakan Massa yang maha besar, bukan. Justru gerakan 1998 di awali oleh proses kesadaran publik dan organ kampu sendiri. Membiasakan kritis, membiasakan berdemonstrasi, diskusi tiap malam, mendatangi kelompok-kelompok kritis, meminta pendapat dosen kritis, dan membangun jaringan di luar kampus.
Jadi gerakan itu bukan soal melakukan pernyataan sikap lalu pulang dan tidur nyenyak. Perlawanan sesungguhnya adalah militansi dan menghadirkan substansi perlawanan. Berdiskusi dengan Redaksi sebuah media Massa, menyiapkan publikasi kritis dan mengajarkan kepada mahasiswa untuk melakukan gerakan, melatih keberanian bersikap kritis.
Pemilu Tinggal Sesaat
Jika gelombang sikap kritis kampus ini dipelihara, maka 2024 akan terjadi kemiripan dengan gerakan 1998. Kenapa?
Presiden Jokowi terlihat dengan mata telanjang telah melakukan banyak kesalahan etis dan hukum. Olok-olok terhadap Jokowi melebihi olok-olok terhadap Soeharto. Kita tiap hari mendengar caci maki terhadap orang yang bernama Jokowi.
Indikator terhadap kekuasaan yang hegemonik dan teror melalui kekuasaan dominasi juga menjadi ancaman. Ketika dinyatakan Indeks pendidikan di Indonesia juga rendah artinya memang terjadi pembodohan. Hal ini sama persis dengan yang terjadi di sebelum 1998, fanatisme terhadap presiden begitu besar..
Lalu bagaimana akan terjadi gerakan Massa besar di 2024? Jika kecurangan, manipulasi dan permbiaran pelanggaran ini terus terjadi maka Prabowo dan Gibran akan menang dalam Pilpres. Kemungkinan hal ini terjadi sangat besar. Karena kita semua seharusnya sadar, pembiaran kecurangan presiden memungkinkan dia telah menyusun dan memanipulasi pemilu. Lewat Bansos dan bisa jadi lewat perhitungan suara.
Anda tak bisa lagi bersikap prasangka baik pada Presiden Jokowi dan lembaga negara lainnya. Kita harus berprasangka buruk. Semua variable pelanggaran etika, kebohongan, mengubah aturan dan hukum semena-mena terjadi dengan sangat vulgar. Belum lagi variable ekonomi yang juga memenuhi syarat pemberontakan ; inflasi tak terkendali, pengangguran makin menumpuk, kemiskinan baru terus terjadi, BBM naik dengan kamuflase penamaan, sektor informal yang karut marut tanpa harapan pasti.
Ketika Prabowo dan Gibran menang, maka presiden terpilih itu sarat dengan beban moral, etika dan pelanggaran lainnya. Legitimasi hukum saja tak cukup untuk sebuah lembaga kepresidenan. Dipastikan ada perlawanan rakyat, bisa jadi kampus juga akan maju di depan.
Jika itu terjadi maka sama kejadiannya dengan masa Soeharto di 1998, ketika Soeharto diangkat lagi menjadi Presiden dalam sidang MPR, maka kemarahan rakyat dan mahasiswa tak bisa dibendung. Singkat cerita, akhirnya turun.
Tulisan ini menggambarkan bagaimana syarat-syarat pergerakan Massa akan terjadi pada saat Prabowo dan Gibran terpilih, artinya peran mahasiswa, dosen kampus dan intelektual bukan sekedar membuat pernyataan sikap lalu pergi begitu saja. Jika memang tak pernah terjadi pergerakan massa dalam pasca pemenangan Prabowo-Gibran, maka boleh dong kita sebut kampus di Indonesia sebagai agensi pembodohan, yang hanya menghasilkan orang-orang bodoh berlabel sarjana?! Semoga tidak..
Iwan Suga
Penyintas Gerakan 98'
Editor : Admin Rakyatjelata