Filosofi Ketupat sebagai Tradisi di Malam ke-15 Syakban di Bojonegoro

Bojonegoro - Setiap daerah memiliki tradisi dan kebiasaan berbeda. Tradisi ini biasanya telah dilakukan turun temurun sehingga banyak masyarakat yang masih melakukannya hingga kini. 

Seperti halnya di Kabupaten Bojonegoro, Ketupat tak hanya identik dengan lebaran, namun ketupat juga identik dengan akan datangnya bulan ramadhan tepatnya untuk sajian pada malam ke-15 bulan syakban.

Baca Juga: Kowarteg Jatim Menyapa di Bojonegoro, Bagikan  Benih Padi dan Jagung Kepada Petani Gurem

Sebagaimana diketahui, pada malam ini, umat muslim banyak melakukan amalan ibadah. Seperti membaca surat Yasin sebanyak 3 kali berserta salat hajat dan memperbanyak istighfar.

Hal ini dilakukan sebagai upaya umat muslim untuk membersihkan Diri secara Lahir dan Batin sebagai kesiapan dalam menjalankan ibadah puasa di bulan suci ramadhan yang tinggal beberapa hari.

Baca Juga: Harga Beras Naik, Pemkot Surabaya Gelar Pasar di Sejumlah Pasar Tradisional

Lalu apa filosofi dari Ketupat atau Kupat?

Ketupat atau Kupat dapat diartikan simbol orang jawa sebagai tindakan yang juga tak boleh ditiggalkan setelah beristigfar dan ibadah lainya, yakni manusia  harus saling mengakui kesalahan, lalu saling memberi ma'af, maka dengan begitu, upaya untuk membersihkan lahir dan bathin yang dilakukan akan sempurna.

Baca Juga: Kapolres Bojonegoro Silaturahmi dengan PD Muhammadiyah Perkuat Harkamtibmas

Ketupat atau kupat sebenarnya telah ada sejak zaman Hindu-Budha di Jawa. Pada tahun 1600-an, oleh Raden Said atau Sunan kalijaga ketupat dikenalkan sebagai sajian islami yang mempunyai arti ganda yakni Ngaku Lepat dan Laku Papat.

Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan, yang diimplementasikan saling memaafkan, Sedangkan Laku Papat artinya 4 Tindakan yakni, Luberan (melimpahi), Leburan (Melebur dosa) lebaran dosa (pintu ampunan terbuka lebar) dan Laburan ( Mensucikan diri). (Arh)

Editor : arif