Rakyatjelata.com - Sejumlah faktor membuat perubahan iklim semakin parah. Salah satunya ternyata banyak diproduksi di Indonesia.
Di kutip dari CNBC Indonesia, Fakta ini diungkap oleh salah satu pendiri Microsoft yang kini menjadi filantropis, Bill Gates
Baca Juga: Tandur Ramut sebagai Upaya Atasi Perubahan Iklim
Dalam tulisan di blog personalnya, Gates mengatakan setiap tahun aktivitas di Bumi menghasilkan 51 miliar ton gas rumah kaca. Sebanyak 7% berasal dari produksi lemak atau minyak hewan dan tumbuhan.
"Untuk memerangi perubahan iklim, kita harus mengubah angka tersebut ke nol," kata dia, dikutip dari blog personalnya, Sabtu, (21/9/2024).
Gates menyadari rencana untuk menghilangkan konsumsi lemak hewan bagi manusia hampir mustahil. Pasalnya, manusia sudah tergantung dengan lemak hewan sejak masa lalu.
Lemak hewan menyimpan nutrisi dan kalori yang dibutuhkan oleh manusia. Namun, ada cara yang bisa dilakukan untuk mengambil lemak tanpa memproduksi emisi, menyiksa hewan, dan menghasilkan zat kimia berbahaya.
Solusinya, kata Gates, sudah ditemukan oleh startup bernama 'Savor'. Gates turut menjadi salah satu investornya.
Savor menciptakan lemak dari sebuah proses yang melibatkan karbondioksida dari udara dan hidrogen dari air. Senyawa tersebut lalu dipanaskan dan dioksidasi sehingga terjadi pemisahan komponen asam yang menciptakan formulasi lemak.
Gates mengklaim lemak yang dihasilkan memiliki molekul serupa yang ditemukan dari susu, keju, sapi, dan minyak nabati.
Selain produksi lemak hewan yang merusak lingkungan, Gates juga menyoroti faktor yang menciptakan dampak lebih besar yakni minyak sawit.
"Saat ini, minyak sawit adalah lemak nabati yang paling banyak dikonsumsi di seluruh dunia," ujarnya.
Gates mengatakan lemak nabati ditemukan di hampir semua kebutuhan sehari-hari, seperti kue, mie instan, krim kopi, makanan beku, hingga makeup, sabun badan, odol, deterjen, deodoran, makanan kucing, dan formula bayi. Bahkan, minyak sawit juga digunakan untuk biofuel dan mesin diesel.
Ia pun menegaskan masalah pada minyak sawit bukan soal penggunaannya, tetapi bagaimana proses produksinya. Mayoritas jenis sawit asli jenis Afrika Barat dan Tengah tidak tumbuh di banyak wilayah. Pohon itu hanya tumbuh subur di tempat-tempat yang dilewati garis khatulistiwa.
"Hal ini menyebabkan penggundulan hutan di area-area khatulistiwa untuk mengkonversinya menjadi lahan sawit," kata Gates.
Proses ini berdampak buruk bagi keragaman alam dan menyebabkan pukulan telak bagi perubahan iklim. Pembakaran hutan menciptakan emisi yang banyak di atmosfer dan mengakibatkan peningkatan suhu.
"Pada 2018, kehancuran yang terjadi di Malaysia dan Indonesia saja sudah cukup parah hingga menyumbang 1,4% emisi global. Angka itu lebih besar dari seluruh negara bagian California dan hampir sama besarnya dengan industri penerbangan di seluruh dunia," Gates menjelaskan.
Sayangnya, Gates mengatakan peran minyak sawit sulit tergantikan. Sebab, komoditas sawit murah, tidak berbau, dan melimpah.
"MInyak sawit juga satu-satunya minyak nabati dengan keseimbangan lemak jenuh dan tak jenuh yang hampir sama, itulah sebabnya minyak ini sangat serbaguna. Jika lemak hewan adalah bahan utama dalam beberapa makanan, maka minyak sawit adalah pemain tim yang dapat bekerja untuk membuat hampir semua makanan dan barang-barang non-makanan menjadi lebih baik," Gates menjelaskan.
Untuk alasan-alasan tersebut, Gates mengatakan sudah ada perusahaan-perusahaan yang mencoba mengatasinya. Salah satunya C16 Biosciences yang berupaya membuat alternatif minyak sawit.
Sejak 2017, Gates mengatakan C16 mengembangkan produk dari mikroba ragi liar menggunakan proses fermentasi yang tidak menghasilkan emisi sama sekali.
Meski secara kimiawi berbeda dari minyak sawit konvensional, namun minyak C16 mengandung asam lemak yang sama, sehingga dapat digunakan untuk aplikasi serupa. (fsd/fsd) /CNBC Indonesia
Editor : Admin Rakyatjelata