Oleh : Denny JAP
Pengantar Buku Puisi Esai Jonminofri Soal Drama di Dunia Wartawan
Baca Juga: Jurnalis KOMPAK Berkurban 4 Sapi DAN 2 Kambing
Dalam periode 20 tahun dari 2003 hingga 2022, sebanyak 1.668 jurnalis telah terbunuh di seluruh dunia, dengan rata-rata 80 jurnalis per tahun.
Demikianlah judul berita media Reporters Without Borders (2023): “1,668 journalists killed in past 20 years (2003-2022), average of 80 per year.”
Angka ini mencerminkan risiko besar yang dihadapi oleh jurnalis, terutama ketika meliput kejahatan kriminal atau politik.
Meskipun ada upaya global untuk melindungi jurnalis, tingkat impunitas terhadap pelaku pembunuhan jurnalis tetap tinggi. Ini membuat situasi keamanan bagi jurnalis investigatif mengkhawatirkan.
Data ini yang saya ingat ketika membaca puisi esai Jonminofri berjudul: "Pena Yang Ujungnya Mengalirkan Darah" (Terbit 2024). Puisi ini mengisahkan seorang wartawan bernama Rudi. Ia berlari keluar kota, merasa dikejar dan mungkin akan dibunuh.
Dalam pelariannya, ia sekaligus ziarah kepada para wartawan sebelumnya yang disiksa hingga mati terbunuh karena "ujung penanya."
Jonminofri mengungkapkan kegelisahan Rudi:
"Tapi kali ini Rudi berpikir lain. Ini bukan persoalan seperti kemarin-kemarin, yang mengulas berita soal daging, mutasi, dan kain. Kini berita yang ditulis menyangkut reputasi partai yang menang pemilu kemarin. Jadi tak bisa main-main."
Rudi menulis soal partai politik yang menang pemilu. Tak dijelaskan ini pemilu yang mana, tahun berapa. Namun "ujung pena" Rudi sudah menjadi berita utama.
"Media lain ikut menulis ulang, dan berita itu menjadi bertambah besar. Presiden dan petinggi partai sudah berkali-kali membantah. Berita yang ditulis Rudi tidak benar, tidak valid, hanya isapan jempol, fitnah, hanya ingin mengadu domba, dan tuduhan negatif lain.
Sekarang semua media sudah memainkan isu itu.
Rudi merasa dialah yang dicari. Ia yang memulai melempar isu itu di koran, yabg kemudian menjadi bola liar di media sosial."
Rudi menjadi panik sendiri. Setiap kali ada orang tak dikenal datang ke rumahnya, ia langsung menduga ini skenario yang bisa berujung pada pembunuhannya.
Sebagian teman dan keluarga merasa Rudi sudah paranoid. Ia sudah berilusi, berhalusinasi sendiri. Tapi Rudi merasa tak lagi bisa berlagak situasi baik-baik saja.
Rudi pun menghilang ke luar kota. Dalam perjalanannya, ia ziarah ke berbagai makam sesama wartawan. Antara lain, Rudi mengunjungi Slamet Jabarudi yang mewartakan Sum Kuning (tahun 1970an). Rudi juga mengunjungi makam wartawan Udin (Fuad Muhammad Syafruddin), dan beberapa makam wartawan lainnya.
Slamet Jabarudi terkenal untuk kasus Sum Kuning yang terjadi di Yogyakarta pada tahun 1970. Sum Kuning, seorang gadis penjual telur, diperkosa oleh sekelompok pemuda yang diduga anak-anak pejabat tinggi.
Sum Kuning yang mengaku sebagai korban pemerkosaan, justru dijadikan tersangka. Ia dituduh menyebarkan berita bohong. Bahkan ia dikait- kaitkan dengan PKI, komunisme, yang ia tak paham.
Peran wartawan dalam mengungkap kebenaran kasus ini sangat signifikan. Wartawan menginvestigasi dan mengungkap banyak kejanggalan dalam penyelidikan polisi, termasuk dugaan rekayasa kasus untuk melindungi pelaku yang memiliki koneksi kuat.
Liputan pers yang kritis dan mendalam membantu membongkar manipulasi dalam kasus ini. Keadilan penuh bagi Sum Kuning tetap menjadi pertanyaan hingga kini.
Wartawan Slamet Jabarudi, mengungkapkan versi berbeda untuk kasus pemerkosaan Sum Kuning. Ia ditahan karena tulisannya di koran.
Kasus yang lain menimpa wartawan Udin (Fuad Muhammad Syafruddin). Pada tahun 1996 merupakan salah satu peristiwa kelam dalam sejarah kebebasan pers di Indonesia.
Udin seorang wartawan di Harian Bernas, Yogyakarta. Ia dikenal kritis terhadap pemerintah dan sering menulis artikel tentang korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat setempat.
Pada tanggal 13 Agustus 1996, Udin ditemukan dalam kondisi kritis di rumahnya setelah mengalami penganiayaan berat. Ia menderita luka serius di kepala dan akhirnya meninggal dunia pada 16 Agustus 1996.
Kasus ini diduga kuat terkait dengan tulisan-tulisannya yang kritis, terutama yang mengungkapkan skandal korupsi pejabat lokal.
Penyelidikan polisi terhadap kasus ini banyak mendapat kritik karena dianggap tidak transparan dan tidak efektif.
Beberapa pihak mencurigai penyelidikan sengaja diarahkan untuk melindungi pihak-pihak yang terlibat dalam kekerasan terhadap Udin.
Membaca puisi esai Jonminofri itu, saya juga teringat sebuah monumen. Di jantung New York, berdiri monumen megah: The Girl Puzzle Monument. Dibangun pada tahun 2021 di Roosevelt Island.
Monumen ini menghormati Nellie Bly. Seorang jurnalis pionir yang berani mengungkap ketidakadilan. Nellie Bly dianggap yang memulai tradisi investigative report dunia jurnalisme.
Monumen ini menggambarkan wajah besar Bly. Potongan-potongan puzzle di sekelilingnya melambangkan berbagai aspek perjuangannya.
Di akhir abad ke-19, kegelapan merajalela di rumah sakit jiwa Amerika Serikat. Seorang jurnalis muda, Nellie Bly, mencium ada yang tak beres di berbagai rumah sakit jiwa itu. Elizabeth Jane Cochran, yang dikenal sebagai Nellie Bly, membongkar yang tersembunyi di sana.
Pada tahun 1887, dia menerima tugas yang mengubah wajah jurnalisme. Bly menyamar menjadi orang lain untuk mengetahui sisi gelap yang sebenarnya.
Bly menyamar sebagai pasien mental. Dia menyelinap ke dalam Asylum for the Insane di Blackwell's Island, New York. Dengan identitas baru sebagai "Nellie Brown.” Ia berpura-pura kehilangan akal.
Bly menunjukkan tanda-tanda paranoia dan bicara tak menentu. Pemeriksaan medis menyimpulkan bahwa ia mengalami gangguan jiwa. Bly dikirim ke rumah sakit jiwa yang penuh misteri dan penderitaan.
Di dalam tembok yang tinggi dan gelap, Bly menemukan dunia yang jauh dari pandangan publik. Perlakuan tidak manusiawi menjadi pemandangan sehari-hari. Pasien dipukuli, ditampar, dan diisolasi dalam ruangan yang sempit dan gelap.
Mereka dipaksa tidur di ranjang yang kotor dan basah. Makanan yang disediakan hampir tidak layak dimakan.
Baca Juga: Andi Setiadi, Wartawan Setia Kejujuran Berpulang
Lebih dari sekadar kekejaman fisik, Bly melihat ketidakpedulian yang menyesakkan. Banyak dari mereka tidak gila. Mereka hanya miskin atau tidak berdaya. Tanpa kegiatan atau hiburan, pasien di sana merana, tak kuasa, terkurung.
Setelah sepuluh hari yang tak terlupakan, Bly dibebaskan. Ia menulis serangkaian artikel berjudul "Ten Days in a Mad-House" untuk New York World. Laporannya menyebar seperti api.
Artikel-artikel ini menggugah hati. Laporan ini memicu perubahan nyata. Pemerintah dan masyarakat tidak bisa lagi menutup mata.
Dewan Pengawas Amal Publik New York segera melakukan penyelidikan. Mereka mengonfirmasi temuan Bly. Mereka mendorong reformasi besar-besaran.
Anggaran untuk rumah sakit jiwa ditingkatkan. Perbaikan signifikan dilakukan dalam perawatan dan kondisi pasien. Bly membuka jalan bagi perbaikan. Dia memberikan harapan baru bagi mereka yang terkurung dalam gelap.
Laporannya mengangkat kesadaran publik. Pentingnya perawatan yang manusiawi dan layak semakin diakui. Nellie Bly menjadi simbol jurnalisme investigatif.
Warisannya menginspirasi jurnalis di seluruh dunia. Bagi mereka yang mengejar kebenaran dan keadilan, Nellie Bly mengajarkan di balik setiap tembok gelap ada kebenaran yang menunggu untuk diungkapkan.
Investigative Report menjadi tradisi jurnalisme bernilai tinggi. Dan tradisi investigative report itu dimulai dari kasus di rumah sakit jiwa.
Tapi ketika isunya soal kekuasaan, soal skandal penguasa, terutama di negara yang tidak demokratis, investigative report menjadi bahaya. Ia acapkali bisa berujung pada hidup dan mati wartawan yang menulis isu itu.
Di Malta, sebuah negara kecil di Mediterania, seorang jurnalis berjuang mengungkap apa yang ia anggap sebagai kebusukan. Namanya Daphne Caruana Galizia. Ia dikenal luas sebagai jurnalis investigatif yang tak kenal takut.
Ia mengabdikan hidupnya untuk membongkar korupsi dan skandal yang melibatkan tokoh-tokoh berkuasa. Pada 16 Oktober 2017, ia dibunuh dalam ledakan mobil yang mengejutkan dunia.
Caruana Galizia adalah seorang blogger dan kolumnis yang berdedikasi. Ia kerap menulis tentang kasus-kasus korupsi yang melibatkan pemerintah Malta.
Artikelnya sering menyingkap hubungan gelap antara pejabat tinggi dan organisasi kriminal. Ia mengkritik kebijakan pemerintah dan menuduh sejumlah pejabat terlibat dalam praktik korupsi dan pencucian uang.
Salah satu investigasi terpentingnya adalah tentang “Panama Papers”. Caruana Galizia menyoroti keterlibatan politisi Malta dalam skandal ini.
Ia mengungkapkan bagaimana beberapa pejabat menggunakan perusahaan cangkang untuk menyembunyikan kekayaan mereka. Temuannya mengguncang panggung politik Malta dan membuat banyak musuh.
Pagi itu, Daphne Caruana Galizia meninggalkan rumahnya di Bidnija. Saat dia mengendarai mobilnya, ledakan dahsyat menghancurkan kendaraan tersebut. Serangan ini sangat terencana dan brutal. Gelombang kejut melanda Malta, dan dunia pun terguncang.
Pembunuhan ini menimbulkan protes dan kemarahan internasional. Banyak pihak menuntut keadilan bagi Caruana Galizia.
Pada Desember 2017, tiga pria ditangkap atas tuduhan terlibat dalam pembunuhan Caruana Galizia. Namun, penyelidikan lebih lanjut menunjukkan adanya konspirasi yang lebih besar.
Baca Juga: Danrem 084/BJ Gelar Silaturahmi dengan Tokoh Masyarakat, LSM dan Wartawan di Sumenep
Pada 2019, pengusaha Yorgen Fenech ditangkap. Dia diduga sebagai otak di balik pembunuhan tersebut. Fenech memiliki hubungan erat dengan beberapa pejabat tinggi, memperkuat dugaan adanya konspirasi yang melibatkan jaringan yang luas.
Pembunuhan Daphne Caruana Galizia menjadi pengingat risiko yang dihadapi oleh jurnalis investigatif.
Kisah jurnalis dengan berbagai dimensinya itu direkam Jonminofri. Sejak tahun 2012, sudah terbit lebih dari 120 buku puisi esai. Tapi buku puisi esai Jonminofri memberi warna sendiri.
Keseluruhan lima puisi esai yang panjang, semuanya soal drama di dunia wartawan. Jonminofri sendiri sejak awal memang menjadikan jurnalisme sebagai salah satu panggilan hidupnya.
Sesuai dengan pakem puisi esai, aneka kisah di puisi esai adalah true story. Ini kisah yang sebenarnya. Tapi dalam fakta itu dimasukkan kisah fiksi untuk dramatisasi.
Catatan kaki menjadi sentral di puisi esai. Ia menjadi wakil dari dunia faktual yang menjadi ibu kandung dan setting sosial puisi di atasnya.
Jonminofri termasuk generasi pertama puisi esai. Setahun sejak terbitnya buku puisi esai yang pertama “Atas Nama Cinta,” (2012), Jonminofri sudah aktif dalam gerakan puisi esai. Buku puisi esainya sudah disiapkan untuk terbit di tahun 2013-2014.
Karena satu dan lain hal, finalisasi buku puisi esai itu baru selesai di tahun 2024.
Sejak era sebelum Covid-19 hingga sekarang (2024), Jonminofri aktif dalam dua festival puisi esai tahunan.
Di Sabah Malaysia, dibiayai pemerintah setempat, berlangsung Festival Puisi Esai Tingkat ASEAN, yang di tahun 2024 ini sudah memasuki tahun ketiga.
Sedangkan di Indonesia, Festival Puisi Esai Nasional, di tahun 2024 memasuki tahun kedua.
Puisi esai dijadikan Jonminofri sebagai medium untuk juga mengabarkan sisi gelap dan unik dunia wartawan.
Kekerasan hingga pembunuhan wartawan itu memang isu penting untuk terus diberitakan. Isu ini bisa ditulis dalam bentuk makalah akademik, atau berita jurnalistik. Kedua bentuk tulisan itu harus setia pada fakta sebenarnya.
Sementara Jonminofri memilih menambahkan fiksi dalam fakta kekerasan wartawan itu agar lebih dramatis dan menyentuh hati.
Cara bertuturnya menjadi puisi esai. Sedangkan isi puisi esainya menggaungkan kembali true story, sepotong sejarah, di ruang publik agar kisah dunia wartawan itu lebih menggugah.
*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, Ketua Umum Satupena, dan Penulis Buku.
Sumber: Telusur.co.id
Editor : Admin Rakyatjelata